Diajarkan Oleh Sunan Kalijaga, Ternyata Begini Sejarah dan Filosofi Lebaran Ketupat 8 Syawal

- 21 Mei 2021, 18:04 WIB
Ilustrasi ketupat.
Ilustrasi ketupat. /Antara/Jurnal Palopo

LINGKAR KEDIRI - Idul Fitri menjadi momentum untuk saling bermaaf-maafan antar sesama.

Tak hanya pada momen Idul Fitri, masyarakat Jawa mengenal terdapat dua macam lebaran, yakni Idul Fitri (1 Syawal) dan Lebaran Ketupat (8 Syawal).

Lebaran ketupat biasa dirayakan dengan begitu ramai. Ini tak lepas dari ajaran Rasulullah di mana beliau menganjurkan kepada umat muslim untuk menunaikan puasa Sunnah Syawal selama 6 hari, yakni dimulai dari hari kedua Idul Fitri (2 Syawal) hingga 7 Syawal.

Baca Juga: Mencengangkan! Raffi Ahmad Berpotensi Terkaya di Indonesia, ini 11 Sumber Pendapatanya

Ketika memasuki 8 Syawal itulah, masyarakat akan berlebaran, yakni lebaran Ketupat.

Menilik dari sejarahnya, lebaran ketupat di Jawa pertama kali dikenalkan oleh Sunan Kalijaga Raden Said ketika beliau memperkenalkan istilah ba'da (setelah) kepada masyarakat Jawa.

Istilah Ba'da sebagaimana dimaksudkan Sunan Kalijaga adalah Ba'da Lebaran dan Ba'da Ketupat.

Baca Juga: Israel Dan Palestina Sepakat Genjatan Senjata, Hamas Ancam Israel Jika Langgar Kesepakatan

Ba'da Lebaran sendiri dipahami dengan prosesi salat Idul Fitri pada 1 Syawal yang dilanjut dengan bersilaturrahmi untuk saling bermaaf-maafan.

Sedangkan Ba'da Kupat dimulai setelah seminggu Idul Fitri. Biasanya, masyarakat Jawa akan membuat ketupat, yakni berupa beras yang dimasukkan dalam anyaman daun kelapa muda (Janur) berbentuk kantong segiempat, lalu dimasak.

Ketupat biasa diiringi dengan lauk bersantan. Setelah jadi, masyarakat akan membagi-bagikannya ke tetangga maupun kerabat sebagai simbol kasih sayang sekaligus mempererat silaturahmi.

Baca Juga: Mengejutkan! Inilah 13 Alasan Israel Tak Usik Indonesia, Obama, Rusia, Hingga China Akan Membela Indonesia

Ketupat sendiri memiliki filosofi yang amat dalam. Dikutip dari laman Dero Ngawikab, Ketupat atau Kupat merupakan singkatan dari Ngaku Lepat (mengakui kesalahan) dan Laku Papat (Empat tindakan).

Prosesi Ngaku Lepat ini berupa tradisi sungkeman, dimana seorang anak yang bersimpuh meminta maaf kepada orang tuanya.

Tradisi tersebut mengajarkan kepada kita untuk menghornati yang lebih tua dan memohon maaf dan meminta bimbingan, karena yang lebih tua dianggap lebih berpengalan menjalani kehidupan. Sementara yang tua akan mengasihi dan membimbing yang lebih muda.

Baca Juga: Gawat! Ratusan Juta Data Pendudukan Indonesia Bocor, ini Tanggapan Kominfo

Simbol tradisi sungkeman ini adalah ketupat. Karenanya tak heran ketika kita berkunjung ke rumah saudara ataupun kerabat selalu dihidangkan ketupat.

Sementara Laku Papat, Sunan Kalijogo menggunakan empat kata, yakni Lebaran, Luberan, Leburan, dan Laburan.

Lebaran berarti berakhirnya Ramadhan dan bersiap menyongsong hari kemenangan, yakni Idul Fitri.

Baca Juga: Gencatan Senjata Tak Dilakukan, Hamas Ancam Serang Israel, Pimpinan Sebut Tak Takut Kehabisan Rudal

Sedangkan Leburan bermakna melebur atau melimpah seperti air yang tumpah karena sudah terisi penuh. Adapun pesan moralnya adalah membudayakan untuk berbagi kepada yang tidak mampu, serta membayar zakat yang sejatinya merupakan hak fakir miskin.

Kemudian Leburan bermakna habis dan menyatu. Momen leburan adalah untuk melebur dosa terhadap satu dengan yang lain yakni dengan cara meminta maaf, untuk menghapuskan dosa terhadap sesama.

Terakhir, Laburan yang berasal dari kaya labur atau kapur. Kapur sendiri diketahui merupakan zat pewarna berwarna putih yang bisa digunakan untuk menjernihkan air.

Baca Juga: Datangkan Rezeki Melimpah, 10 Hewan ini Wajib ada Dirumahmu, Salah Satunya Ikan Koi

Dari laburan ini bisa dipahami bahwa hari orang muslim harus bisa kembali jernih nan putih layaknya kapur yang menjadi simbol supaya manusia bisa menjaga kesucian lahir dan batin.

Sementara itu, mengapa ketupat lepet dibuat dengan Janur? Bahan pembuatan ketupat ternyata memiliki filosofi tersendiri.

Janur diambil dari bahasa Arab "Ja'a Nur" (Telah datang cahaya).

Baca Juga: Menakjubkan! Ini 7 Keistimewaan Bandara Dhoho Kediri, Telan Biaya 9 Triliun Hingga Status Internasional

Bentuk fisik kupat sendiri berupa segi empat yang diibaratkan layaknya hati manusia.

Saat seseorang sudah mengakui kesalahannya, maka hatinya seperti halnya kupat yang dibelah, pasti isinya putih bersih, hati yang tanpa iri dan dengki karena hatinya sudah dibungkus cahaya (Ja'a Nur).***

Editor: Erik Okta Nurdiansyah


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah