LINGKAR KEDIRI – Hari Pendidikan Nasional jatuh setiap tanggal 2 Mei yang bertepatan dengan hari lahir Ki Hajar Dewantara.
Sempat Diasingkan, inilah Kritik Pedas Ki Hajar Dewantara ke Belanda Hingga Dijatuhkan Hukuman
Hingga saat ini beliau dikenal sebagai Bapak Pendidikan Nasional di Indonesia.
Baca Juga: Naik Pitam Usai Dituding Panjat Sosial dan Numpang Tenar, Amanda Manopo: Gak Lucu, Banyak Perjuangan
Sebenarnya Ki Hajar Dewantara bukanlah nama sesungguhnya, ia memiliki nama asli Raden Mas Soewardi Soeryoningrat.
Nama tersebut berubah pada tahun 1922.
Ia tamatan ELS (sekolah dasar Belanda) dan melanjutkan ke STOVIA (sekolah dokter bumiputra) namun tidak sampai lulus karena sakit.
Akhinya Ki Hajar Dewantara bekerja sebagai penulis dan wartawan di berbagai surat kabar.
Selain menjadi golongan wartawan muda, ia aktif dalam organisasi Budi Utomo bersama Douwes Deker dan Dr. Cipto Mangunkusumo yang dikenal sebagai tiga serangkai.
Ki Hajar Dewantara berpikir kritis usai mengetahui bahwa pemerintah Belanda berniat mengumpulkan sumbangan dari warga termasuk pribumi.
Sumbangan tersebut digunakan untuk merayakan 100 tahun kemerdekaan negeri Belanda dari penjajahan Prancis.
Ia pun melucurkan kritikannya terhadap belanda melalui surat kabar dengan judul “Andai Aku Seorang Belanda.”
Isi kritikan Ki Hajar Dewantara:
“Sekiranya aku seorang belanda
Aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya.
Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu.
Ide untuk menyelenggarakan itu saja sudah menghina mereka, dan sekrang kita keruk pula kantongnya.
Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku, ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya.”
Karena kritikan tersebut, ia dijatuhkan hukuman oleh Belanda dan dibuang ke Belanda.
Hal ini justru menjadi kesempatan bagi tiga serangkai untuk mendalami dunia pendidikannya.
Saat kembali ke Indonesia, Ia mendirikan perguruan Taman Siswa pada 3 Juli 1922 di Yogyakarta untuk pribumi Indonesia agar mendapatkan pendidikan seperti lainnya.
Saat berusia 40 tahun, ia mengganti nama menjadi Ki Hajar Dewantara dan menghapus gelar kebangsawanannya agar dapat bebas dekat dengan rakyat.
Ki Hajar Dewantara memiliki semboyan dalam dunia pendidikan yakni ‘Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani’.
Artinya, di depan memberi contoh atau panutan, di tengah memberi semangat, dan dibelakang membuat dorongan.
Ki Hajar Dewantara meninggal di Yogyakarta tanggal 26 April 1959 dan dimakamkan di Taman Wijaya Brata.***