“sekarang mari kita hormat, lalu ambil wudhu dan kita laksanakan sholat gaib” perintah bunda, wanita kuat didikan seorang prajurit. Kami semua mengadap televisi yang sedang menayangkan gambar-gambar kapal yang di naiki ayah. Bunda memimpin penghormatan kami “Hormat Graak.”
“Selamat bertugas prajurit, jangan khawatirkan kami, kami baik-baik saja, jika masih ada dermaga maka bersandarlah, dan jika dermagamu adalah surga maka tunggu kami di dermaga itu, selamat bertugas.”
Suara purau bunda membuat isak tangis dan gemetar dalam penghormatan kami. Lalu kami mengambil wudhu untuk lakukan sholat gaib.
Saya kira kami akan sholat gaib sendiri-sendiri. Namun tidak. Galang, adik kamu paling kecil, yang salama ini kami kenal bandel dan olokan, karena bontot dan lelaki sendiri, telah berdiri menempatkan dia sebagai imam.
“Luruskan shaf, saya mendapat tugas dari ayah untuk menjadi imam, menjadi muhrim dan menjaga kehormatan kakak dan bunda, karena saya lelaki sendiri, saya sebenarnya pemimpin setelah ayah, namun saya kira saya belum siap, tapi kini saya siap tidak siap harus menjalankan tugas ayah, bunda, kakak, tolong bimbing saya untuk menjalankan tugas ini.”
Kata-kata pemimpin baru di rumah ini membuat derai air mata bercampur senyum yang keluar bersamaan.
Dan kami bertiga mengangguk pasti. Sholat gaib berjalan dengan penuh ikhlas. Selamat bertugas prajurit kami akan melaksanakan tugas dari Anda. sampai bertemu di dermaga kelak.
Narasi Nery.***