Dilansir LingkarKediri dari laman Reuters, keputusan ini ternyata masi tergantung pada apakah implementasi komitmen yang dibuat dalam perjanjian itu efektif.
Otoritas imigrasi Malaysia sebelumnya menggunakan sistem rekrutmen online untuk pekerja rumah tangga, tetapi itu telah dikaitkan dengan tuduhan perdagangan manusia dan kerja paksa.
Pengawasan atas perlakuan terhadap pekerja migran di Malaysia telah berkembang, dengan tujuh perusahaan Malaysia dilarang oleh Amerika Serikat dalam dua tahun terakhir atas apa yang digambarkan sebagai "kerja paksa".
Malaysia bergantung pada jutaan pekerja asing dari negara-negara seperti Indonesia, Bangladesh dan Nepal untuk menjadi staf perkebunan dan pekerjaan pabrik.
Tetapi meskipun mencabut pembekuan perekrutan yang disebabkan pandemi pada bulan Februari, Malaysia belum melihat pengembalian pekerja yang signifikan karena persetujuan pemerintah yang lambat dan pembicaraan yang berlarut-larut dengan negara-negara sumber mengenai perlindungan karyawan.***