LINGKAR KEDIRI – Baru-baru ini tersiar kabar dari Departemen Luar Negeri Amerika sedang mempertimbangkan penjualan drone bersenjata ke Indonesia.
Namun, ada kekhawatiran atas pelanggaran hak asasi manusia dan pembelian peralatan Rusia di masa lalu.
Akhirnya memicu perdebatan di dalam pemerintahan Biden untuk menyetujui langkah tersebut, hal ini menurut pejabat pemerintah dan industri pertahanan Amerika.
Baca Juga: Terkini Kasus Subang, Diduga Handphone Amel Terdeteksi di Kawasan Jalancagak, Pelaku Mulai Panik?
Dilansir LingkarKediri.pikiran-rakyat dari Zona Jakarta pada laman Politico, pemerintah Indonesia menginginkan paket baru drone bersenjata karena memodernisasi armada pesawat tempur yang menua.
Meskipun Indonesia telah melemparkan jaring yang lebar dan kusut karena mengklaim sedang mempertimbangkan pesawat baru dari Rusia, Korea Selatan, Prancis, dan Amerika Serikat.
Permintaan Indonesia untuk membeli drone bersenjata MQ-1C Grey Eagle, yang dikonfirmasi oleh tiga orang, baik di pemerintahan maupun yang memiliki hubungan dengan industri pertahanan.
Hal ini datang karena Washington juga mempertimbangkan untuk menjual empat drone MQ-9B Predator ke Qatar.
Usulan penjualan ke Qatar pertama kali dilaporkan oleh Wall Street Journal, namun perdebatan mengenai penjualan drone bersenjata ke Indonesia belum pernah diberitakan sebelumnya.
Seorang pejabat Departemen Luar Negeri Amerika mengkonfirmasi bahwa tinjauan kebijakan pengendalian senjata sedang mempertimbangkan beberapa hal.
Pertimbangan ini terutama perihal “hubungan antara hak asasi manusia dan transfer senjata serta menyoroti pentingnya mempromosikan transfer ketika itu untuk kepentingan nasional AS.”
Ada juga ketidakpastian apakah Indonesia memiliki proses regulasi yang tepat untuk melindungi teknologi buatan AS dan apakah pemerintah dapat mendukung teknologi kelas atas dalam jangka panjang.
Kedutaan Besar Indonesia tidak menanggapi permintaan komentar, dan juru bicara Departemen Luar Negeri mengatakan badan tersebut tidak membahas pertimbangan internal atas potensi penjualan senjata.
Di sisi lain, Richard Aboulafia, wakil presiden analisis di Teal Group memberikan pernyataan yang mengejutkan perihal Indonesia.
“Mereka suka berbelanja, tetapi membeli adalah cerita lain,” kata Richard Aboulafia.
“Persyaratan pesawat tempur baru telah ada selama bertahun-tahun, mereka tidak pernah benar-benar membeli pesawat tempur Barat yang baru,” tambahnya.
Peryataan tersebut menunjukkan bahwa ketidakmampuan pemerintah Indonesia untuk menindaklanjuti dan sering membeli pesawat bekas mungkin membuat pemerintahan Biden berhenti sejenak untuk mencoba bergerak maju.
"Fakta bahwa mereka berbelanja di seluruh dunia, termasuk untuk peralatan Rusia, itu sendiri merupakan tanda bahaya," pungkasnya.
Untuk diketahui, Indonesia memiliki sekitar 70 pesawat dalam inventarisnya, campuran dari pesawat tempur Rusia yang lebih tua dan F-16 buatan AS.
Baca Juga: Anggaran Pertahanan Malaysia Kalah Jauh dengan Indonesia, Menhan Siap Belanja Alutsita
Pada bulan Februari, pemerintah Indonesia mengisyaratkan tertarik untuk membeli pesawat tempur F-15 EX baru dari AS, tambahan baru untuk daftar keinginan negara itu yang selama beberapa tahun telah memasukkan pesawat tempur Rafale Prancis dan Su-35 Rusia.
Indonesia sendiri dikabarkan telah bernegosiasi dengan Rusia sejak 2018 mengenai kesepakatan Sukhoi.
Pembicaraan tersebut mencakup barter barang Indonesia, seperti minyak sawit dan sumber daya alam lainnya untuk mengimbangi biaya pesawat.
Disclaimer: Artikel ini pernah tayang sebelumnya di Zona Jakarta dengan judul “Diejek Beli F-16 Bekas dari Kuburan Pesawat, Kementerian Pertahanan Indonesia Langsung Pajang Foto Rafale”.***