Tak Ingin Disibukan Dengan Pelanggaran Teritorial, Indonesia Tawarkan Amerika Investasi di Natuna

- 29 Oktober 2020, 19:02 WIB
NATUNA menjadi lokasi observasi WNI dari Wuhan.*
NATUNA menjadi lokasi observasi WNI dari Wuhan.* /Pixabay/

 

LINGKAR KEDIRI – Sering kali terjadi pelanggaran teritorial di wilayah terluar Indonesia, salah satunya adalah Kepulauan Natuna.

Seperti yang diketahui, konflik antara Indonesia dan China sering kali terjadi di zona maritim NKRI peraian kepulauan Natuna.

Aparat militer Indonesia tak bisa berbuat banyak atas kapal patroli Pembebasab Rakyat (PLA) China yang kerap memasuki wilayah peraian Pulau Natuna.

Baca Juga: Jangan Ketinggalan! Pendaftaran Kartu Prakerja Gelombang 11 Akan Segera Diumumkan, Simak Infonya

Hal tersebut disebabkan karena Beijing menyatakan wilayah tersebut masuk dalam zona ebas terkait klaim sembilan garis putus-putus (nine dash line).

Sejauh ini, kapal militer Indonesia hanya bisa mengusir kapal-kapal China yang masuk ke wilayah tersebut.

Namun sepertinya, Pemerintah Indonesia ingin menuntaskan masalah tersebut tanpa harus berkonflik langsung dengan Beijing.

Terkait konflik yang sering terjadi di perairan Natuna, Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi mengundang investor Amerika Serikat (AS) untuk investasi di Kepulauan Natuna.

Baca Juga: Ramalan Keuangan Hari ini Kamis 29 Oktober 2020: Scorpio Bebas, Leo Coba Berubah, Pisces Lagi Panas

Pernyataan tersebut disampaikannya kepada Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo saat berkunjung ke Indonesia.

"Saya mendorong pebisnis AS untuk berinvestasi lebih banyak di Indonesia, termasuk untuk proyek-proyek di pulau terluar Indonesia, seperti Pulau Natuna," ujarnya dalam konferensi pers, Kamis 29 Oktober 2020. Sebagaimana yang diberitakan GALAMEDIANEWS.COM dalam artikel berjudul “Sering Ribut dengan China, Indonesia Tawarkan 'Pangkalan' di Kepulauan Natuna kepada AS”.

Dengan mengambil langkah tersebut, Indonesia tak perlu lagi ‘disibukan’ dengan pelanggaran teritorial, karena jika AS berkenan maka armada laut AS di Indo Pasifik akan menjaganya dengan ketat.

Dengan begitu, China pun bakal berpikir panjang untuk memasuki wilayah tersebut. Karena AS jauh memiliki keunggulan militer dibanding Indonesia.

Baca Juga: Simak Faktanya, Viral! Gambar Reka Ulang Bentuk Wajah Mumi Firaun Yang Mirip Jokowi

Di sisi lain, Indonesia bisa meraup keuntungan dari hasil investasi AS tersebut. Terlebih, AS memang memiliki kepentingan untuk memiliki "pangkalan" di wilayah tersebut.

Perlu diketahui, AS memang merupakan salah satu investor utama Indonesia. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat investasi AS ke Indonesia sebesar 279 juta dola AS pada kuartal III 2020 untuk 417 proyek. Dengan jumlah tersebut, AS menempati posisi ke-7 negara dengan investasi terbesar.

Akhir-akhir ini Kepulauan Natuna tengah terancam dampak dari konflik Laut China Selatan (LCS), konflik memanas usai China mengklaim sepihak 90 persen dari perairan LCS.

Terkait hal tersebut, Retno menyatakan penolakan tegas berbagai klaim maritim di wilayah perairan tersebut.

Baca Juga: Wow! Facebook Berikan Bantuan Untuk UMKM Sebesar Rp31 Juta, Begini Cara Daftarnya

Ia juga mengatakan konvensi PBB tentang hukum laut atau The United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 1982) merupakan acuan hukum yang harus diterapkan dan dihormati oleh semua negara.

"Oleh karena itu, klaim apa pun harus didasarkan tentang prinsip-prinsip hukum internasional yang diakui secara universal termasuk UNCLOS 1982," tegasnya.

Sikap Retno tersebut sejalan dengan upaya AS menentang klaim China atas LCS. Bahkan, kedua negara telah sepakat bekerja sama untuk melindungi ketahanan LCS.

Selain mengundang investasi dari AS ke wilayah Kepulauan Natuna, Retno juga menyinggung pemberian perpanjangan fasilitas pengurangan insentif tarif preferensial umum atau Generalized System of Preferences (GSP) dari AS.

Baca Juga: Update! Jadwal Penerimaan Dana BLT BPJS Ketenagakejaan Subsidi Gaji Gelombang 2

GSP itu sendiri adalah sebagai fasilitas bea masuk impor terhadap produk ekspor negara penerima, yang diberikan oleh negara maju demi membantu ekonomi negara berkembang.

Retno menjelaskan, pemberian fasilitas tersebut dapat memperkuat rantai pasokan global dan mempercepat pemulihan ekonomi.

"Berkaitan dengan hal tersebut, saya kembali menggarisbawahi pentingnya fasilitas GSP, yang tidak hanya membawa keuntungan bagi Indonesia tapi juga bagi bisnis AS," katanya.

Baca Juga: Informasi Pendaftaran Kartu Prakerja Gelombang 11, Begini Kabar Terbarunya

Dilansir dari Galamedia dalam "Sering Ribut dengan China, Indonesia Tawarkan 'Pangkalan' di Kepulauan Natuna kepada AS". Selama ini, Indonesia mendapatkan keringanan tersebut dari AS.

Namun, awal tahun lalu AS sudah mencoret Indoneisa dari daftar negara berkembang.

Saat ini, Indonesia tengah menunggu hasil tinjauan ulang yang dilakukan pemerintah AS melalui United States Representative (USTR) terkait pemberian fasilitas GSP tersebut.***(Dicky Aditya/GALAMEDIANEWS.COM)

Editor: Zaris Nur Imami

Sumber: Galamedia


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah