UU Ciptaker, Sertifikat Halal Bisa Diterbitkan Diluar Lembaga MUI, Berbahaya? Simak Penjelasannya

14 Oktober 2020, 11:11 WIB
Logo Halal MUI. /

Lingkar Kediri - Undang-Undang (UU) Cipta Kerja atau Omnibus Law mendapat perhatian dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Pasalnya, dengan keberadaan UU Ciptaker ini, penerbitan sertifikat halal yang sebelumnya diterbitkan oleh MUI kini bisa diterbitkan oleh lembaga lainnya.

Lembaga yang diamanahkan untuk bisa menerbitkan sertifikat halal tersebut adalah Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).

Baca Juga: Apa itu Norovirus? Simak Gejala dan Pencegahannya Terhadap Wabah Virus Baru di China Saat ini

Baca Juga: Undang-Undang Omnibus Law, Berikut Aktor Penting Dibalik Pembuatan Serta Pengesahan UU Kontroversial

Anggota Komisi Fatwa MUI, Aminudin Yakub, mengatakan bahwa kebijakan tersebut sangat berbahaya dan ditakutkan akan melanggar syariat jika tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku.

"Bagaimana BPJH mengeluarkan sertifikat halal, kalau itu bukan fatwa. Ini bisa melanggar syariat, karena tidak tau seluk beluk sertifikasi," kata Aminudin sebagaimana dikutip Tim Lingkar Kediri 02 dari RRI.

Aminuddin mengatakan ahwa dalam proses penerbitan sertifikat halal, setiap produk tidak bisa disamaratakan.

Baca Juga: Aktivis KAMI Ditangkap, Profilnya dari Relawan Jokowi Hingga Sempat Dipenjara Akibat Mendagri

Baca Juga: Vaksin Covid 19 Didatangkan November Nanti, Simak Pihak Mana Saja yang Akan Dapat Prioritas

Hal tersebut dikarenakan bahan-bahan dari setiap produk berbeda.

"Waktu sertifikasi tidak bisa pukul rata. Karena dalam auditnya, bahan-bahan dari produk itu berbeda. Tentu, kalau bahan yang dipakai ada sertifikasi halal lebih mudah. Tapi kalau tidak kita sarankan untuk mengganti bahan baku," tambahnya.

Diketahui, ada sejumlah perbedaan mengenai ketentuan sertifikasi halal yang tertuang di UU Cipta Kerja dengan UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Berikut keterangannya:

Baca Juga: Hasil Pertemuan PT LIB Bersama Perwakilan Klub, Mengenai Kelanjutan Shopee Liga 1 2020

Baca Juga: Hubungan China-Jepang Memanas, Kapal Perang China Diusir Dari Perairan Teritorial Jepang

Persyaratan Auditor Halal

Dalam Pasal 14 UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, dijelaskan mengenai pengangkatan auditor halal oleh Lembaga Pemeriksa Halal (LPH).

Auditor halal adalah orang yang memiliki kemampuan melakukan pemeriksaan kehalalan produk.

Sedangakan, LPH adalah lembaga yang melakukan kegiatan pemeriksaan dan/atau pengujan terhadap kehalalan produk.

Baca Juga: Waspada La Nina! BMKG: Diperkirakan Puncak La Nina di Bulan Desember 2020 Nanti

Baca Juga: UPDATE Kabar Lintang Kemukus Pertanda Bencana, LAPAN Menjelaskan Apa Sebenarnya Cahaya Tersebut

Ada sejumlah persyaratan pengangkatan auditor halal oleh LPH, yakni:

  1. Warga negara Indonesia.
  2. Beragama Islam.
  3. Berpendidikan paling rendah sarjana strata 1 (satu) di bidang pangan, kimia, biokimia, teknik industri, biologi, atau farmasi.
  4. Memahami dan memiliki wawasan luas mengenai kehalalan produk menurut syariat Islam.
  5. Mendahulukan kepentingan umat di atas kepentingan pribadi dan/atau golongan.
  6. Memperoleh sertifikat dari MUI.

Namun, pada UU Cipta Kerja, persyaratan poin (f) ditiadakan. Sehingga, dalam pengangkatan auditor halal hanya berlaku lima persyaratan saja.

Baca Juga: SBY dan AHY Dituduh Dalang Demo UU Ciptaker, Mahfud: Itu di Medsos Saja, Bukan Pemerintah

Baca Juga: Jokowi Peringatkan 3 Sektor Untuk Antisipasi Fenomena La Nina, dan Bencana Hidrometeorologi

Cara Memperoleh Sertifikat Halal

Bab V Pasal 29 UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal menjelaskan mengenai tata cara memperoleh sertifikat halal.

Pada pasal 29 ayat (1) dijelaskan permohonan sertifikat halal diajukan pelaku usaha secara tertulis kepada Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).

Pasal 29 ayat (2) disebutkan, permohonan sertifikat halal harus dilengkapi dengan dokumen data pelaku usaha, nama dan jenis produk, daftar produk dan bahan yang digunakan, dan proses pengolahan produk.

Baca Juga: Klub Sepakat Liga 1 Dimulai Awal November, Tetapi Polri Tetap Tak Keluarkan Izin

Baca Juga: Jadwal Acara TV Hari ini 14 Oktober 2020: GTV, Trans 7 Hingga Indosiar

Kemudian, Pasal 29 ayat (3) berisi ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan permohonan sertifikat halal diatur dalam peraturan menteri.

Tetapi, dalam UU Cipta Kerja, ketentuan mendapatkan sertifikat halal pada Pasal 29 ayat (3) diubah menjadi jangka waktu verifikasi permohonan sertifikat halal dilaksanakan paling lama 1 hari kerja.

Waktu Penerbitan

Selain itu, pada Pasal 35 UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal disebutkan sertifikat halal diterbitkan BPJPH paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak keputusan kehalalan produk diterima dari MUI.

Baca Juga: Setelah Corona Kini China Diserang Norovirus, Simak Pengertian, Gejala, dan Cara Mengatasinya

Baca Juga: Jadwal TV 14 Oktober 2020: ANTV Suguhkan Banyak Genre India, FTV di SCTV Tak Kalah Menarik

Namun, pada UU Cipta Kerja, Pasal 35 diubah menjadi sertifikat halal sebagaimana Pasal 34 ayat (1) dan Pasal 34A diterbitkan oleh BPJPH paling lama 1 (satu) hari kerja terhitung sejak fatwa kehalalan produk.

Sementara itu, ada pasal yang disisipkan antara Pasal 35 dan Pasal 36, yakni Pasal 35A pada UU Cipta Kerja.

Pasal 35A ayat (1) berbunyi, apabila LPH tidak dapat memenuhi batas waktu yang telah ditetapkan dalam proses sertifikasi halal, maka LPH tersebut akan dievaluasi dan/atau dikenai sanksi administrasi.

Selanjutnya, Pasal 35A ayat (2) dijelaskan, apabila MUI tidak dapat memenuhi batas waktu yang telah ditetapkan dalam proses memberikan/menetapkan fatwa, maka BPJPH dapat langsung menerbitkan sertifikat halal.***

Editor: Erik Okta Nurdiansyah

Sumber: RRI

Tags

Terkini

Terpopuler