LINGKAR KEDIRI - Pekerja dan buruh menolak adanya kebijakan kenaikan cukai rokok sebesar 23 persen, khususnya untuk rokok dengan jenis Sigaret Kretek Tangan (SKT) pada tahun 2021 mendatang yang diatur dalam Pertaturan Menteri Keuangan (PMK) 152/2019.
Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP-RTMM-SPSI) meminta kepada pemerintah agar tidak menaikkan cukai SKT yang notabene dikerjakan dan diproduksi dengan mayoritas tenaga manusia, karena akan menentukan nasib jutaan pekerja sektor padat karya ini.
Hal ini bertolak belakang dengan pertimbangan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indarwati yang menyebutkan adanya 5 pertimbangan dalam kenaikan cukai hasil tembakau. Salah satunya adalah untuk mendukung para pekerja pabrik rokok khususnya yang produksinya masih menggunakan tangan.
Baca Juga: Terciduk Kasus Narkoba, Millen Cyrus Ditempatkan di Sel Pria
Baca Juga: Ungkap Makna 4 Pilar MPR RI, Wakil Ketua MPR: Indonesia Tidak Akan Ada Tanpa Nilai-nilai Tersebut
"Kami meminta kepada pemerintah untuk tidak menaikkan tarif cukai SKT sektor padat karya dan segera mengumumkan kebijakan cukai 2021 demi kepastian hukum," kata Ketua Umum RTMM Sudarto dalam keterangan resmi saat diskusi virtual “Perlindungan Tenaga Kerja SKT di Tengah Resesi Ekonomi”, di Jakarta, Jumat 20 November 2020, seperti dikutip dari laman Antara.
Sudarto berharap, masih dapat mencari nafkah dengan damai dan tenang, tanpa harus berteriak dan turun ke jalan menuntut keberpihakan.
Ia mengatakan, sudah seharusnya pengambilan keputusan secara bijaksana oleh pemerintah yang bijaksana dan seadil–adilnya perihal rencana kenaikan cukai tahun depan.
Baca Juga: Pastikan FPI Batal Reuni 212, Pangdam Jaya: Kalau di Langgar, Saya dan Polisi Akan Menindak Tegas
Disisi lain, Menkeu Sri Mulyani mengatakan bahwa pemerintah masih terus menyusun pertimbangan terkait kenaikan cukai rokok dengan mempertimbangkan 5 indikator.
“Kami akan terus formulasikan kebijakan berdasarkan lima area yang dipertimbangkan,” ujar Sri Mulyani ketika menyampaikan realisasi APBN edisi November 2020 secara virtual di Jakarta, Senin 23 November 2020, sebagaimana dikutip di laman Antara.
Menurutnya, 5 pertimbangan tersebut yakni untuk mengurangi angka merokok pada anak-anak dan perempuan, perlindungan serta mendukung petani tembakau.
Baca Juga: Aktivitas Gempa Gunung Merapi Hingga Guguran Tebing Lava, BPPTKG Himbau Masyarakat Agar Tidak Panik
Tak hanya itu, yang menjadi kontra antara serikat pekerja SKT dengan pertimbangan Menkeu ini, Sri Mulyani mempertimbangkan untuk mendukung para pekerja pabrik rokok khususnya yang produksinya masih menggunakan tangan (SKT) dan menekan rokok ilegal serta perihal penerimaan negara.
“Kami masih akan terus formulasikan ini dan akan kami sampaikan pengumuman kalau sudah difinalkan keseluruhan aspek terutama di mana saat kita sedang menghadapi COVID-19,” papar Sri Mulyani.
Sementara itu, Sri Mulyani juga mengatakan, bahwa pendapatan di sektor cukai merupakan salah satu indikator yang tumbuh positif dalam realisasi APBN hingga Oktober 2020.
Baca Juga: Totalnya Sudah 900 Spanduk Rizieq Shihab yang Ditertibkan Karena Pemasangan Tidak Pada Tempatnya
Dalam pemaparannya itu, APBN hingga Oktober 2020 telah terealisasi penerimaan cukai mencapai Rp134,92 triliun, yang tumbuh sebesar 10,23 dibandingkan periode sama tahun lalu.
Untuk diketahui, menurut keterangan Sudarto sebagai Ketua Umum RTMM, seorang buruh SKT hanya bisa melinting sekitar 360-an batang/jam.
Sedangkan, produksi rokok menggunakan mesin atau Sigaret Kretek Mesin (SKM) dapat menghasilkan lebih dari 600.000 batang/jam dengan jumlah pekerja minim.
Baca Juga: Kabar Gembira! Pemerintah Buka Seleksi Guru PPPK pada Tahun 2021, Masa Depan Guru Honorer Cerah
Lebih dari 80 persen pekerja dan buruh SKT adalah ibu–ibu dengan umur lebih dari 40 tahun dengan pendidikan minim dan banyak yang menjadi tulang punggung keluarganya.
Industri Hasil Tembakau (IHT) digadang-gadang sebagai penyumbang terbesar kepada negara. Mulai dari besarnya penyediaan lapangan pekerjaan bagi enam juta orang, cukai yang lebih dari Rp160 triliun per tahun, hingga nilai ekspor yang melampaui satu miliar dolar AS.***