Siap Gugat ke MK, PBNU Ajukan Judicial Review atas Omnibus Law UU Cipta Kerja yang Makin Memanas

- 9 Oktober 2020, 21:19 WIB
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siroj.*
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siroj.* /Dok. NU

LINGKAR KEDIRI - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengeluarkan pernyataan resmi untuk sikapi pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja yang saat ini menjadikan polemik di tengah masyarakat Indonesia.

Pernyataan resmi itu telah disetujui dan ditandatangani langsung oleh Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj dan Sekretaris Jenderal H Helmy Faishal Zaini pada 8 Oktober 2020.

Dalam pernyataan sikap tersebut, PBNU menghargai setiap upaya yang dilakukan pemerintah dan DPR RI yang bertujuan untuk memenuhi hak warga negara. Serta, atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Baca Juga: Lebih Murah! Bandrol iPhone 12 Teranyar, Harganya Dibawah iPhone 11

Baca Juga: Manajemen Kartu Prakerja Naikkan Insentif Menjadi Rp5 Juta pada Gelombang 11 yang Dilakukan Offline

Namun PBNU sesalkan dalam langkah meraih tujuan tersebut, pengesahan UU Cipta Kerja dianggap terburu-buru, tertutup, dan tidak membuka diri terhadap aspirasi publik.

Nahdlatul Ulama tetap berkomitmen untuk tetap bersama pihak-pihak yang berupaya mencari keadilan dengan menempuh jalur konstitusional dengan mengajukan uji materi atau judicial review ke Mahkamah Konstitusi.

Menururt PBNU, langkah yang dilakukan ini akan menjadi jalur terbaik dan terhormat dalam rangka penolakan UU Cipta Kerja.

Baca Juga: BMKG Gelar Rakornas Terkait Potensi Besar Tsunami di Indonesia, Luhut: Sikapi Secara Serius!

Daripada mobilisasi massa, apalagi di tengah pandemi Covid-19 ini yang belum mereda hingga saat ini.

PBNU sikapi beberapa poin yang terdiri dari 9 pernyataan, seperti dilansir dari laman NU Online.

Berikut Rinciannya:

Baca Juga: Faktanya, Tsunami Tak Melulu dari Gempa Tektonik, BMKG: 2018, Tsunami Langka Terjadi di Indonesia

1. UU Cipta Kerja dimaksudkan untuk menarik investasi dengan harapan dapat memperbanyak lapangan pekerjaan dan menyalurkan bonus demografi sehingga dapat mengungkit pertumbuhan serta keluar dari jebakan negara berpenghasilan menengah (middle income trap).

2. Nahdlatul Ulama menyesalkan proses legislasi UU Ciptaker yang terburu-buru, tertutup, dan enggan membuka diri terhadap aspirasi publik. Di tengah suasana pandemi, memaksakan pengesahan undang-undang yang menimbulkan resistensi publik adalah bentuk praktek kenegaraan yang buruk.

Baca Juga: Waspada La Nina dan Lonjakan Gempa Bumi! BMKG: Dipastikan Terjadi di Level Moderat Awal Oktober ini

3. Nahdlatul Ulama menyesalkan munculnya Pasal 65 UU Ciptaker, yang memasukkan pendidikan ke dalam bidang yang terbuka terhadap perizinan berusaha. Ini akan menjerumuskan Indonesia ke dalam kapitalisme pendidikan. Pada gilirannya pendidikan terbaik hanya bisa dinikmati oleh orang-orang berpunya.

4. Pengurangan komponen hak-hak pekerja seperti uang pesangon, uang penghargaan, dan uang penggantian mungkin menyenangkan investor, tetapi merugikan jaminan hidup layak bagi kaum buruh dan pekerja.

Baca Juga: Mau Lolos Kartu Prakerja Gelombang 11? Triknya, Download Surat Ini dan Segera Kirim

5. Pemerintah menjamin investasi dan diskresi menteri tanpa batas bagi pelaku usaha tambang yang menjalankan usaha hulu-hilir secara terintegrasi untuk mengekstraksi cadangan mineral hingga habis. Ini mengabaikan dimensi konservasi, daya dukung lingkungan hidup, dan ketahanan energi jangka panjang. Pemerintah bahkan mendispensasi penggunaan jalan umum untuk kegiatan tambang, yang jelas merusak fasilitas umum yang dibangun dengan uang rakyat.

Baca Juga: Mau Lolos Kartu Prakerja Gelombang 11? Triknya, Download Surat Ini dan Segera Kirim

6. Upaya menarik investasi tidak boleh mengorbankan ketahanan pangan berbasis kemandirian petani. Ini akan menimbulkan kapitalisme pangan dan memperluas ruang perburuan rente bagi para importir pangan.

Baca Juga: Yuk Daftar! Bantuan Rp12,5 Miliar Untuk 400 UKM Indonesia dari Facebook Business, Simak Lengkapnya

7. Sentralisasi dan monopoli fatwa, di tengah antusiasme industri syariah yang tengah tumbuh, dapat menimbulkan kelebihan beban yang mengganggu keberhasilan program sertifikasi. Pengabaian sarjana syariah sebagai auditor halal menunjukkan sertifikasi halal sangat bias industri, seolah hanya terkait proses produksi pangan, tetapi mengabaikan mekanisme penyediaan pangan secara luas.

8. Nahdlatul Ulama membersamai pihak-pihak yang berupaya mencari keadilan dengan menempuh jalur konstitusional dengan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.

Baca Juga: Berujung Maaf, Wasekjen Gerindra Sebut PKI Dulu Menyatu ke PDIP yang Memimpin Koalisi Jokowi-Ma'ruf

9. Semoga Allah selalu melindungi dan menolong bangsa Indonesia dalam menyelesaikan berbagai persoalan bangsa.***

 

Editor: Mualifu Rosyidin Al Farisi

Sumber: NU Online


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah